Wednesday, February 03, 2010

Gustav

di antara semua tempat di bumi ini, di antara rincinya waktu sampai ke detiknya, di antara berjuta-juta manusia di dunia ini, mengapa..mengapa di tempat ini, pada detik ini, diriku dipertemukan dengan manusia yang satu ini!. bagaimana tidak akan percaya pada kekuatan di luar diri manusia jika sering hal-hal tak terduga terjadi dalam hidupku.
berhenti kami hampir bersamaan, saling berhadapan, menatap satu sama lain, tak bergerak di tengah jalan pasar chatuchak yang disorot tajam oleh sinar matahari, tanpa dera angin sedikitpun karena udara seperti dihirup begitu banyak orang yang berjejal dan berkeringat berusaha mencari dan mendapatkan barang-barang murah meriah. kami diam mematung dan menatap tajam.
Gustav!
lelaki itu berdiri di sana tepat di depanku, dengan kacamata hitamnya menghias sempurna di bawah alis tebalnya dan bertengger nyaman di atas hidungnya yang tinggi, rambut cepak coklatnya, perpaduan timur dan barat, kulit wajahnya yang memerah terbakar matahari Bangkok dihiasi bulu-bulu yang mulai tampak tumbuh di sepanjang dagunya, kaos polos warna biru muda yang menampakkan titik-titik keringat di beberapa tempat, celana pendeknya dan sandal jepit hitam, tangan kanannya memegang kamera dan tangan kirinya menggenggam di dekat pundak tali tas punggungnya. mematung dia tanpa sedikitpun aku bisa melihat gerak matanya, tapi aku dapat melihat dengan jelas gerak bibirnya yang dia gigit dan jakunnya yang bergerak naik turun serta helaan nafas berat berkali-kali.
diriku!
berdiri di depan Gustav, menenteng beberapa tas plastik warna-warni merah biru hijau dengan berbagai macam isi oleh-oleh khas thailand, menggengam erat semua tas itu dan tas selempangku, tidak menggigit atau menggerakkan bibir sama sekali tapi aku tau bibirku terbuka cukup lebar menemukan kenyataan di depanku. panas matahari, suara berisik dan keras para pedagang yang meneriakkan dagangannya yang sama sekali aku tidak mengerti satu katapun, beberapa kali senggolan orang berjalan di sampingku sama sekali tidak merubah posisi mematungku. saat itu aku sadar penuh waktu serasa berhenti, berhenti untuk Gustav dan diriku. saat itu aku sadar, aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan setelah momen mematung ini berakhir, aku justru berdoa momen ini tidak bergerak sama sekali agar aku tidak perlu melakukan apapun, berdoa agar kami hanya mematung seperti ini saja. aku juga tidak tahu apa yang dia pikirkan atau rasakan, tapi aku tahu kami cukup lama berdiam, mematung, memandang di balik kaca mata hitam kami masing-masing.
Gustav dan diriku!
akhirnya saling tersenyum setelah cukup waktu lama kami melewati momen itu ketika kami merasakan keringat mulai banyak mengalir di tubuh kami, kulit kami mulai merasakan panas sengat matahari. yah, momen itu telah terlewati, doaku tidak terkabul dan tentu saja tidak akan pernah terkabul karena waktu terus bergerak dan kami masih berdiri hidup saling berhadapan.
akhirnya Gustav bergerak dan melangkah mendekatiku sambil mengulurkan tangannya, secara natural aku menerima uluran tangannya dan pasrah ketika secepat itu pula Gustav memelukku dan memberikan ciuman di kedua pipiku.
"Agnes!..oh Agnes...apa kabarmu?" bisiknya ditengah pelukan kami.
"Gustav...." hanya itu yang bisa kuucapkan dalam dekapannya, karena mencoba menghayati momen ini benar-benar terjadi dan bukan mimpi.
kami melepaskan pelukan satu sama lain dan kali ini kami bisa menatap mata satu sama lain setelah melepaskan kaca mata hitam yang menutupi semua gejolak di baliknya. mata itu masih tajam tapi teduh seperti yang selalu aku ingat.
dirabanya lenganku lembut kemudian rambutku dan aku hanya bisa berdiri di depannya tanpa mengalihkan dari matanya dan merasakan setiap sentuhannya.
"mari kita cari tempat duduk dan minum....pphheww...panas sekali siang ini" katanya sambil memutarkan pandangan di sekitar kami mencari warung minuman terdekat yang teduh.
"ah itu...kita minum di sana. oh Agnes...it's been so long, many things that need we catch up, let's go over there"katanya sambil menarik tanganku ke arah warung tenda yang menjual kopi, beer, dan minuman lainnya.
aku memesan es lemonade dan Gustav memesan beer dingin. kami tersenyum dan dia masih memegang tanganku, kelihatan tidak perduli kalau tanganku begitu berkeringat bukan hanya karena hawa yang panas tapi karena gugup bertemu dengannya.
"apa kabarmu, Agnes?"
"aku baik-baik saja, dan kamu?" ternyata aku masih mampu bersuara
"seperti kamu lihat, aku tambah kurusan kan?" katanya sambil menepuk perutnya dan lengannya sendiri dan aku hanya tertawa sambil dalam hati berkata "iya, kamu sedikit mengurus tapi justru membuatmu kelihatan matang"
"sedang cari apa di sini? dan kapan tiba di bangkok?" ganti saya yang bertanya
"aku sudah sebulan tinggal di sini, hanya sekedar mencari barang-barang murah untuk mengisi apartemenku saja, aku akan tinggal di sini selama tiga tahun, penempatan baru" jelasnya.
"wah serunya"kataku seperti kehabisan kata-kata
"kamu sendiri, apa yang kamu lakukan di sini? liburan?" balik dia bertanya
"yah...seperti kamu lihat sendiri, dengan tentengan belanjaan seperti ini, semuanya oleh-oleh, iya aku sedang liburan, mencoba lebih tahu tentang bangkok"
"i see..." jawabnya sambil meminum beer dinginnya, lalu tanyanya kembali
"berapa lama kita tidak bertemu? atau tepatnya berapa lama sudah kita tidak saling bertukar kabar?"
"hhmm....berapa ya?" aku berlaga lupa dan mengingat-ingat walaupun sebenarnya aku tahu benar berapa lama tepatnya kami tidak pernah saling berhubungan lagi sejak terakhir kali kami memutuskan untuk tidak akan saling mengenal, tepatnya empat tahun dua bulan tiga belas hari....dan sekarang bertambahan tujuh jam. tapi aku melanjutkan "empat atau lima tahun?"
"ah kurang dari itu...empat tahun ya?"
"iya sepertinye empat tahun"
"lama juga ya....dan kamu masih tetap sama seperti empat tahun yang lalu saat terakhir kita bertemu"
"hahahah...kamu bisa aja" aku tertawa tergelak dengan spontan
"iya kamu masih berambut pendek dan memiliki senyum itu, yah...walaupun ada sedikit mulai kelihatan keriput di samping matamu" katanya sambil mengamati dengan dekat sisi mataku
"kamu bisa ada-ada aja, tentu lah aku memiliki keriput sekarang, aku sudah mulai menua, dan tentu sudah mulai berubah dewasa donk. buktinya...." aku diam sejenak dan tertunduk lalu "...kita bicara sekarang, waktu berjalan dan semua tersimpan dibalik waktu..yang terjadi antara kita"
"aku mengerti...aku juga sudah tidak selincah dulu lagi" katanya sambil menepuk pahanya mengingat dia dulu selalu bersepeda kemanapun juga selagi masih bisa ditempuh dengan sepedanya. lalu lanjutnya "so...ada kabar baru apa selama empat tahun ini yang tidak aku ketahui?" tanyanya sambil tersenyum padaku
"well...tidak banyak kecuali aku sudah pindah rumah, aku membeli rumah di daerah pinggiran jakarta, hanya untuk investasi dan bukti bahwa saya pernah bekerja..hahaha, lalu apa ya? aku sudah tidak bekerja di LSM itu lagi, sekarang aku bergerak di bidang pendidikan, aku mengajar atau lebih tepatnya aku menjadi dosen di beberapa universitas swasta di Jakarta, jadi aku terpaksa membeli mobil. that's it" jawabku sambil memberikan pandangan sekilas padanya sebelum memandang lalulalang orang -orang berkeringat di pinggir chatuchak ini.
"oh ok...menikah?" tanyanya dan aku yakin dia akan menanyakan hal itu, apalagi pertanyaan umum yang tidak ditanyakan pada seseorang yang lama tidak kita jumpai
aku tidak langsung menjawab "hhmm...belum. kamu? apa yang baru selain kamu akan tinggal di sini selama tiga tahun, apa yang terjadi padamu selama empat tahun ini?" gantian aku memberondong dia dengan pertanyaan sebelum dia bertanya dan mencecar soal pernikahan.
dia menghela nafas berat lalu menjawab "selain masih bekerja di kantor yang sama, aku menjadi konsultan freelance beberapa kali di beberapa organisasi, cukup untuk menambah pengalaman dan memperindah CV, masih tetap belum membeli rumah dan tidak berniat dalam investasi di bidang itu dalam waktu dekat, masih nomaden dari satu apartemen ke apartemen yang lain, juga belum menikah, sekali-kali kembali ke Jerman menengok orang tuaku"
"okay fair enough dengan saling panjang kita bertukar cerita" kataku
sesaat kami terdiam masing-masing, lalu dia menanyakan tentang bagaimana rasanya menjadi dosen, apa yang kuajarkan, dan pertanyaan lainnya seputar Indonesia, karena ternyata selama empat tahun ini dia tinggal di Swiss dan tidak pernah memiliki kesempatan untuk ke Indonesia. aku menceritakan apa adanya termasuk tentang teman-teman kami yang mana kami biasa makan malam bersama di suatu hari di setiap minggunya. kami sudah tidak pernah melakukan itu sejak Gustav pergi ke Swiss itu dan aku lebih sering tidak datang karena tinggal di pinggir kota, hanya sesekali kami berkumpul di akhir pekan.
hampir dua jam kami duduk di warung itu, pasar ini bukannya menyepi oleh pengunjung tapi menjelang sore malah semakin bertambah banyak, sesekali aku mendengar bahasa Indonesia atau melayu di antara para pengunjung. yah, chatuchak market hampir mirip pasar tradisional di Indonesia yang menjual bebagai macam barang dan suvenir murah dari thailand yang menjadi salah satu obyek kunjungan turis. heran, kenapa pasar di indonesia kurang populer menjadi kunjungan turis ya? mangga dua dan tanah abang mungkin, tapi orang asing di sana lebih banyak merupakan pedagang grosir.
"Gustav, ada yang ingin kusampaikan kepadamu"kali ini aku yang memegang tangannya
"ya?"
"aku minta maaf sekali lagi atas apa yang terjadi antara kita dulu"
"sstt...sudah jangan diingat-ingat lagi, aku juga minta maaf, aku ikut berperan atas apa yang terjadi antara kita"
"iya, tapi kita tidak berpisah secara baik-baik, kita emosi saat itu"
"aku ingat, tapi sekarang tidak ada yang perlu dimaafkan lagi, semua bagian dari masa lalu, bagian dari pendewasaan diri kita"
"aku terlalu memaksamu dan aku tidak memberimu kesempatan untuk memikirkan segala sesuatu"
"tidak apa-apa, aku paham, aku juga tidak banyak menjelaskan kepadamu. aku hanya mengatakan bahwa kita tidak mungkin bisa bersama, walaupun kita saling menyayangi. aku masih sayang sama kamu"
"oh Gustav...please don't say that" sudah empat tahun lewat memang, tapi sayang adalah rasa yang belum bisa hilang dari diriku padanya dan dia ternyata masih memiliki rasa yang sama.
"seharusnya aku jujur dan mengatakan semua kepadamu waktu itu, agar kita bisa lebih bisa menempatkan diri di posisi masing-masing"
"kamu menyayangiku, tapi kita tidak dapat bersama, aku bisa terima itu, kadang kita tidak selalu mendapat apa yang kita inginkan, banyak logika yang tidak bisa masuk dalam sebuah rasa sayang dan cinta, aku sudah bisa menerima itu semua"
"iya, tapi yang ingin kusampaikan lebih dari itu" dia menunduk dan menggenggam tanganku erat, menggigit bibirnya dan menatapku lekat. aku menjadi salah tingkah. lalu dia melanjutkan "aku menyayangimu, Agnes, mencintaimu malah, salah bila aku tidak ingin hidup bersamamu, kamu perempuan yang mandiri dengan segala kelebihan dan kekuranganmu yang melengkapiku, tapi...."
"tapi apa?" aku mencoba menahan diri untuk tidak kembali ke waktu empat tahun silam, dimana kami berdebat tentang hal yang sama, "tapi apa, Gustav?" tanyaku tenang.
"aku sudah mencobanya, dan jangan dikira aku tidak mencobanya dengan wanita lain, aku sudah mencobanya, merasakannya, menghidupkannya, tapi..."
"ayo lah ...ada apa sebenarnya?" tanyaku menjadi tidak sabar dengan permainan dia, aku sudah cukup dengan semua perdebatan kami selama ini dan tiba-tiba pikiran itu muncul " hey....jangan bilang kamu gay!" sontak aku mengatakan itu dan memukul lengannya, Gustav melotot dan menatap tajam padaku, serasa tidak percaya dengan tuduhanku dan memalingkan mukanya yang mulai kecoklatan itu sambil mengatupkan bibirnya rapat.
"Gustav? i'm so sorry...i just couldn't find any reason for not excusing you like that. aku minta maaf dengan ucapanku...ayo lah Gustav...aku hanya main-main" kuacak rambutnya yang selalu aku suka, lalu dia memalingkan mukanya lagi dan tersenyum lalu mencium pipiku pelan, aku memejamkan mata dan sekilas mencium bibirku di tengah keramaian pasar ini dan aku menikmatinya. kami saling memandang dan meremas tangan, lalu katanya dengan tenang
"I know that you know me that well, Agnes...aku pikir kamu memahami segala alasan dan mengerti makna perdebatan kita dulu, tapi ternyata tidak, kamu terlalu lugu, naive dan kadang-kadang bodoh. butuh waktu bertahun-tahun untukmu menyadari apa yang terjadi diantara kita, apa makna cinta kita....iya....aku gay!"
kali ini aku yang melotot memandangnya, meremas keras kedua tangannya yang menggenggamku kemudian secepat itu melepaskannya pula dan hampir menamparnya bila tidak mengingat di mana kami berada, kali ini aku yang memalingkan muka darinya dan menggigit bibirku. aku serasa ingin berdiri dan berlari meninggalkannya, pergi jauh tapi....selanjutnya aku....aku tertawa keras...sekeras yang selama ini belum pernah aku lakukan, dan aku tidak perduli bila semua mata memandang kami seperti halnya aku yakin ketika semua mata melirik kami tengah berciuman tadi, aku tertawa keras sambil menepuk-nepuk keras meja kemudian pahaku dan selanjutnya dada bidang Gustav, mungkin aku tiba-tiba menjadi gila, aku tidak tahu...yang pasti aku tertawa dan lama dan kemudian aku mendengar Gustav ikut tertawa hambar seperti malu dan mencoba menenangkanku dan memelukku yang masih tetap tertawa sampai air mataku keluar. aku tidak tahu apakah aku sekarang tertawa atau menangis, tertawa atas kebodohan sendiri atau mentertawakan Gustav....aku tidak tahu. sampai akhirnya dengan kesadaran penuh aku menarik nafas panjang dan meminum lemonadeku dan menarik nafas panjang lagi.
"Agnes, kamu baik-baik saja? kamu tidak apa-apa kan? ini yang aku khawatirkan bila dulu aku berterus terang padamu, aku tidak tahu akan seperti apa reaksimu, aku takut membayangkan reaksimu, walaupun reaksimu sekarang beyond my imagination, aku tidak tahu kenapa kamu tertawa keras sekali. aku tidak perduli bila kamu mentertawakanku...silakan Agnes, aku terima semuanya" panjang lebar dia mencoba menenangkan diriku dengan semua kalimatnya itu.
"tenang saja Gustav, aku masih waras, aku masih sadar, aku hanya tiba-tiba ingin tertawa keras, aku ingin mengeluarkan semua beban dan ganjalan yang ada di otakku, pikiranku, hatiku dan semua yang ada di tubuhku, ternyata memang benar, tertawa meringankan beban"
"syukurlah...aku tadi sempat takut kamu freak out dan ..."
"dan tiba-tiba gila? itu maksudmu?...ooh come on!...you also know me that well, Gustav, i believe you do. makanya aku tidak mengerti kenapa kamu tidak mengatakan itu dulu, mengapa kamu membuat kita bertengkar dan berdebat hebat untuk hal-hal yang bisa disederhanakan seperti itu? dan untuk apa aku membuang energi dan pikiranku selama empat tahun dua bulan tiga belas hari tujuh jam yang lalu untuk tetap berpikir tentangmu dan berharap padamu? berharap keajaiban akan terjadi pada kita"
"aku minta maaf" hanya itu yang dia ucapkan
"aku sempat hampir percaya bahwa aku mendapat keajaiban itu dua jam lalu ketika kita bertemu di jalan situ dan terlebih lagi ketika kamu menciumku tadi, aku pikir semua penantianku terjawab, tapi ternyata dugaanku lebih benar daripada angan dan mimpiku"
"jadi kamu sudah menduga dari dulu?"
"well...sort of. tapi karena kita begitu indah dan aku menikmatinya, aku menghapus dugaan itu, aku menikmati cinta kita saat itu dan kamu hampir memberikan semua untukku...hampir"
"sekali lagi aku minta maaf, apa yang harus kulakukan untuk menebus kesalahanku?"tanyanya mengiba.
"jangan Gustav, tidak perlu kamu melakukan apapun, aku seharusnya berterima kasih padamu atas semua yang telah kita alami"
"tapi empat tahun ini? aku harus membayarnya"
"empat tahun ini ya?....waktu yang lama...dan aku semakin tua...dan aku tetap tolol"
"don't say that, you're just being honest to yourself and i love it, that's what make me love you all this time, Agnes"
"ahhh..cut it off..." aku menonjok lengannya.
"aaauchh...iya benar, cinta ku padamu tak kan pernah padam, aku mencintaimu apa adanya dengan caraku sendiri, kamu harus percaya itu"
"yah aku percaya itu"
"makanya aku tidak pernah mencoba mengganggumu karena aku tahu itu akan merusakmu, walaupun ternyata kamu tetap mengharapkanku"
"aaah...sudah lupakan saja itu"
"apa yang bisa kulakukan untuk menebus waktu empat tahunmu, karena aku tidak akan bercerita padamu apa yang kulakukan dengan kehidupan cintaku selama empat tahun ini, amat sangat tidak adil buatmu...maafkan"
"aku tidak tahu Gustav...aku tidak bisa berpikir sekarang, aku lelah, aku ingin pulang"
"aku antarkan kamu ke hotelmu, atau kamu pindah ke apartemenku saja, kamu masih beberapa hari kan di Bangkok?"
"kamu tahu aku, biarkan aku sendiri dulu ya....aku akan menghubungimu bila aku sudah siap"
"please...at least let me take you to your hotel" paksanya.
"baiklah"
aku sendiri tidak tahu apa yang kupikirkan dan kurasakan, mungkin benar aku lelah sehingga malas untuk bercakap lagi dengannya sepanjang perjalanan ini. Gustav mengantarkanku sampai lobi hotel dan berjanji akan mengunjungiku lagi besok pagi-pagi benar karena aku tidak mau mengatakan apa rencanaku besok pagi.
pagi harinya ketika aku sarapan, Gustav sudah menanti di sofa lobi tepat di depan pintu masuk restoran hotel.
"morning Agnes...bisa tidur semalam? kamu terlihat segar"
"morning...oh cut the crap, Gustav..."jawabku sambil tersenyum sinis.
Gustav menemaniku sarapan dalam diam. aku masih tidak tahu apa yang membuat aku menjadi terdiam, aku juga tidak menemukan jawaban atas apa yang sedang kupikirkan, yang jelas semua tergambar bolak balik melintas di pikiranku semua kejadianku dengannya selama hubungan kami tiga tahun di Indonesia, empat tahun mimpiku, empat tahun rasa ingin tahuku tentang kabarnya yang selalu kutahan, empat tahun ketidakjelasan hubunganku dan sikapku dengan beberapa lelaki. inilah hidupku selama tujuh tahun terakhir ini, tujuh tahun perjalanan hidup yang ...yang ...ah entahlah yang apa sebutannya.
"Gustav, aku sudah memikirkkannya"
"apa? tentang apa?"tanyanya lembut.
"tentang apa yang bisa kamu lakukan untuk membayar empat tahun mimpiku yang sia-sia itu"
"iya, apa yang bisa kulakukan untukmu,berapa harus kubayar? seberapa mampu aku membayar itu?"
"kamu akan bisa membayarnya, aku yakin itu, tidak perlu takut dengan semua investasimu, juga tidak perlu takut tentang harga dirimu yang akan kupermalukan, ini hanya antara kita. kamu benar-benar mencintaiku dengan caramu kan?"
"iya"
"aku pernah membaca sebuah cerpen atau cerbung aku lupa, tentang hubungan wanita dengan seorang gay, setelah kuingat hampir mirip dengan kita dibagian bahwa si wanita merasa tertipu, dan aku menyukai akhir cerita itu, bisa dianggap win win solution buat semua"
"ya? apa yang terjadi?"
"aku hanya akan menceritakan isi cerita itu, dan aku minta kamu memikirkannya, karena aku sudah memikirkannya dan mengambil keputusan atas hidupku"
"katakanlah"
"dalam cerita itu dikatakan, si wanita tetap meminta si pria untuk menikahinya, mereka tinggal di luar negeri, dan memiliki anak, lalu bercerai, anak dibuat dengan teknologi canggih yang ada saat ini. mereka bercerai sampai saat anak itu lahir. dan aku ingin kamu melakukan itu untukku. sebuah kebohongan memang, tapi apa yang kualami selama ini bila bukan kebohongan juga? aku membohongi diriku sendiri, membohongi orang lain, membohongi pacar-pacarku, lalu apa salahnya bila aku akhiri kebohongan ini dengan indah dan dapat diterima semua orang. menikah adalah jalan satu-satunya kamu membalas perbuatanmu padaku dan memberiku anak, karena aku tidak bisa hidup tanpamu, aku menginginkanmu menjadi bapak dari anakku, kamu tidak perlu ada untuknya setelah dia lahir, lakukan apapun yang ingin kamu lakukan, aku yakin akan mampu berdiri sendiri seperti kamu bilang. bagaimana? kamu mampu melakukan itu?"
Gustav terdiam, meneguk kopinya, dan aku membiarkannya saat diam itu.
"baik, aku akan melakukkannya untukmu" mantap dia mengatakan itu.
"aku tidak akan bertanya untuk kedua kalinya, karena aku cukup punya harga diri sekarang Gustav. jadi kita akan melakukannya. kita sama-sama menyelamatkan muka kita di depan orang-orang, bahwa kita normal, bahwa kita sama seperti halnya semua orang, bahwa bila akhirnya kita bercerai maka itu adalah proses"
"apa yang akan kita katakan kepada anak kita? adilkah ini untuknya?"
"kita lihat saja nanti setelah dia dewasa dan cukup untuk mengerti semua dan biarkan dia yang memutuskan adil atau tidaknya. sama seperti halnya empat tahun baru aku tahu apa yang harus kulakukan dengan hidupku dan menjadi wanita yang dianggap sempurna seperti halnya wanita lainnya dan teman-temanku, benar begitu kan?"
"baiklah. aku akan melakukannya".
"thanks Gustav"
"you're welcome, Agnes"
dan kami melanjutkan sarapan itu dengan tenang.

(cerita pendek ini ditulis atas permintaan "Gustav" kepada penulis. "kenapa kamu tidak menulis tentang saya, apa dan siapa saya sih di blogmu, ayo donk...kamu pasti bisa". "Gustav"..ini untukmu, kita hanya berusaha menjadi diri kita sendiri, ya kan?)




Friday, April 04, 2008

Dia

Kisah ini adalah tentang 'dia', seorang perempuan yang pernah singgah di hatiku.

Pernah, bukan berarti tidak lagi karena saat ini aku duduk di pinggir jendela ini menikmati gelas kedua kopi Acehku yang pahit sambil merokok..menghisap dalam, dan aku masih menganggapnya singgah di hatiku.

kuletakkan kursi menghadap jendela dan kunaikkan kakiku ke bibir jendela. kuhisap dalam rokok filter ini, terbatuk...karena sudah lama aku tidak menghisapnya, namun saat ini sepulang dari penatnya kerja dan capeknya mengendarai mobil sendiri di tengah kemacetan Jakarta, sebatang untuk mengobati rasa kangenku padanya adalah obat yang cukup manjur.

iya, kami dulu biasa duduk di pinggir jendela ini, melihat malam dan rembulan, saling menumpangkan kaki kami satu sama lain, menikmati secangkir kopi pahit kami dan hanya..hanya sebatang rokok yang kami hisap berdua. nikmat dan menyegarkan. bukan hanya karena kopi dan rokoknya namun kebersamaan kami, pembicaraan kami dan sentuhan-sentuhan kami.

aku merindukan dia, perempuan yang pernah (dan masih) singgah di hatiku. saat ini aku mengobatinya dengan melakukan ritual kami itu dan mengingat apa yang menyebabkan kami tidak menikmati sebatang rokok dan secangkir kopi bersama lagi.

malam itu, ketika kami duduk di pinggir jendela ini, aku tidak ingat sudah berapa tegukan dan berapa hisapan kami lakukan, tiba-tiba kami dikejutkan oleh dering telpon. betisnya yang telanjang menggesek betisku yang berbulu dan sentuhan itu selintas mendesir di perutku. dia berdiri, mengambil rokok dari tanganku dan menghisapnya lalu mengembalikan padaku kemudian dia berjalan ke meja samping tempat tidur dan mengambil telepon genggamnya.aku tidak memperhatikan apa yang diucapkannya di telepon, mataku masih menatap bulan di luar jendela, menghisap sisa rokok kami yang telah basah oleh bibirnya tadi sembil membayangkan kelanjutan yang akan kami lakukan akibat gesekan sekilas betisnya ke betisku, malam yang indah kataku dalam hati.

setelah beberapa saat dia kembali ke bangku di sebelahku, diam dan menatap rembulan pula. dia tidak bercerita tentang telpon malam-malam itu dan aku juga masih larut dengan angan-angan konyolku sendirian sambil menghabiskan sisa rokok kami.

kupeluk dirinya dan kucium rambutnya, bau asap rokok tersisa di sana, dia.....diam. kupeluk erat untuk mewujudkan anganku tadi padanya, tetap diam.....kutatap matanya..........masih diam, kucium bibirnya.....juga diam. akhirnya kuangkat dia dan kududuknya dia di hadapanku.....tak bergerak dan........diam. lalu menangis, hanya itu yang kulihat, tangis di wajahnya yang makin keras dan keras. semua khayalan-khayalan nakalku ketika menikmati sisa rokok dan kopi terakhir tadi lenyap tak berbekas di otakku. kupeluk dia dan kubiarkan dia menangis sejadi-jadinya.

itu terakhir aku menikmati kopi dan rokok berdua serta merasakan hangat tubuhnya dan curahan air matanya. karena paginya, dia mengepak semua bajunya dan pergi ...pergi dan belum pernah kembali kepadaku lagi. semua hanya karena telepon di tengah malam itu yang mengabarkan bahwa bapaknya rela mengorbankan dirinya untuk dipenjara seumur hidup karena membunuhku bila dia tetap menyerahkan dirinya dalam pelukanku tanpa ikatan apapun. aku mencegahnya untuk pergi? tidak, apakah aku pengecut? tidak, apakah aku tidak berjuang untuk cinta kami? tidak. karena itu bukan kali pertama kami mendapat telepon tengah malam dan itu juga bukan kali pertama kami mendengar itu semua. hanya kali ini tangisnya lebih keras dan lebih menjadi dibanding sebelum-sebelumnya? apakah kami tidak saling mencinta? karena cinta seharusnya saling memiliki? aku tidak tau....mungkin, mungkin kami memang tidak saling mencinta, kami mencintai hidup, kami mencintai rasionalitas, kami mencintai cinta yang lebih besar dari cinta kami, cinta bapaknya, cinta bapakku.

kami selalu bilang, bila memang kami saling mencinta dan memiliki cinta yang besar maka kami akan tetap bersama apapun rintangannya, ternyata kami tidak memiliki cinta sebesar itu, aku tidak rela mati sekarang di tangan bapaknya, dan dia tidak rela melihatku mati dan menderita karena tidak memilikiku lagi.

kuhisap rokokku malam ini dan kupandang cangkir kopiku yang menyisakan endapan di dasarnya dan memberikan gambaran wajahnya yang tak kan pernah datang lagi, karena sekeras apapun dulu kami berjuang untuk cinta kami, kami tidak akan pernah bersatu karena kami tidak saling mencintai, karena ada cinta yang lebih dari cintaku yang telah mengambilnya secepat terjangan mobilnya ke mobil di depannya yang telah meluluhlantakkan tubuhnya dan mencarut marut muka cantiknya dan mengambil nyawanya. bahkan bapaknya pun tidak dapat memilikinya lagi. bila dia tetap disini saat itu dengan betis mulusnya dan basah bibirnya di rokok kami, dia tetap tidak akan berada di sini saat ini menemaniku duduk di pinggir jendela ini....menikmati sebatang rokok dan secangkir kopi.

Thursday, September 13, 2007

ingin

saya hanya ingin menulis sesuatu di sini.
saat ini saya lagi di kantor, ditemani senandung 'letto' -memiliki kehilangan.
dia bilang "rasa kehilangan hanya akan ada jika kau pernah merasa memilikinya"(kalimat ini kutulis krn pas kudengerin)
tentu saja kalimat itu masuk akal. lalu apa hubungannya dengan 'ingin' ku?
aku gak tau...
oh well....hari pertama puasa, gak lapar sih, dan gak lemes juga, namun ada yang kurang.... saya hanya ingin...ingin....tidak merasa kurang sehingga saya tidak akan pernah memiliki kehilangan.

(ampuni aku Tuhan...hambamu yang lemah dan hina ini)

Wednesday, August 22, 2007

penderitaan

sesuatu yang dirasakan oleh setiap orang, baik dalam bentuk siksaan fisik karena sakit termasuk siksa secara ekonomi maupun siksa batin dan mental.
setiap orang akan menganggap apa yang dideritanya pasti lebih menyakitkan daripada penderitaan orang lain, itu hal wajar yang dirasakan manusia.
tapi satu yang seharusnya tidak akan hilang dari seseorang adalah ketika dia mampu merasakan bagaimana pedih, sakit, tersiksa dan menderitanya dia atas penderitaan yang dia rasakan adalah rasa empati, baik atas penderitaan diri sendiri maupun penderitaan orang lain, dan bukannya malah 'keras hati' atau tak peduli dengan orang lain.
'aaah...apa yang kamu derita belum apa2 dibanding dengan yang aku alami, aku sudah kehilangan berjuta-juta, dan berkorban banyak'
ketika mendengar itu, aku sedikit terhenyak, serasa tak percaya, bagaimana mungkin dia mampu mengatakan seperti itu atas sesuatu yang aku rasakan yang mana hanya aku yang merasakan dan tentunya aku tidak akan bercerita seberapa parah aku menderitanya (ini misal).
kemalangan seseorang jangan dijadikan acuan bahwa dia ato kita yang lebih malang, menurutku yang bisa kita lakukan adalah memberi dukungan, membesarkan hatinya, menguatkan dan mengatakan betapa hebat dan mampunya dia mengatasi semua masalahnya dan bukan mengatakan bahwa penderitaanya bukan apa2 dibanding orang2 lain....karena tidak ada yang mengetahu seberapa dasyat sebuah derita mampu ditanggung seseorang kecuali orang itu sendiri dan Tuhan.
itu gunanya teman bagi saya dan itu yang selalu saya coba lakukan kepada teman-teman saya sebagaimana beberapa sahabat saya melakukannya pada saya...mendukung dan mencintai saya apa adanya.

Friday, July 27, 2007

airmata tua

'dia sudah menelpon?'
'sudah'
'apa katanya?'
'aku tidak berbicara dengannya'
'kenapa?'
'malas'
'kenapa?'
'malas aja'
'masih marah ya?'
'yah begitulah'
'sudah memaafkannya?'
'.....(diam)'
'dia anakmu'
'begitulah'
'aku bisa mengerti, tapi dia masih tetap membutuhkan restumu selalu'
'aku masih tidak percaya dia mengatakan itu semua kepadaku, di depanku, dan tanpa merasa sedikitpun menyesalinya'
'dia tidak menyadari kekeliruannya dan bahkan tidak menyadari kalau itu menyakitimu'
'seharusnya dia...'
'hidupnya berat sepertinya'
'sepertinya tidak juga...dia hidup nyaman sekarang, tapi kenapa dia bisa menyalahkan apa yang terjadi padanya kepadaku?'
tiba-tiba mata itu berkaca-kaca...dan tanpa dia sadari air mata itu keluar di sana. wajahnya keras, tegang, dan menyimpan amarah...amarah terpendam yang dia sendiripun tidak menyangka akan ada di sana. air mata yang amat sangat jarang sekali keluar dari mata tua lelaki itu.
'dia tidak menyadari bahwa apa yang dia alami dan rasakan sekarang adalah hasil dari keputusan masa silam dan itu termasuk ...semua kata-kata penyesalan yang ditimpakan kepadamu, benar kan?'
'seharusnya dia sadar itu...tapi kata-katanya sungguh menyakitiku. aku melakukan semua itu untuknya, untuk anakku...'
'aku tau...aku tau itu'
'aku menganggap dia sudah tidak ada lagi'
'jangan begitu, dia akan tetap mengunjungimu suatu hari nanti'
'tidak untukku, hanya untuk kesenangannya sendiri'
'itu tidak benar'
'kamu pandai sekali membuatku tenang'
'aku harus melakukannya. aku tidak ingin membuatmu terluka, sampai kapanpun, aku mencintaimu, aku membanggakanmu, dan aku menghormatimu. aku ada karena kamu, aku hidup seperti ini karena kamu, karena cintamu....dan aku tau betapa besar cintamu padanya, padaku dan pada mereka'
'aku sakit'
'aku tau...ikhlaskan, maafkan, relakan'
'akan kucoba'
'aku yakin, jauh di dalam lubuk hatinya, dia tetap mencintaimu pula, menghormatimu, dan membanggakanmu.'
'tapi tidak seharusnya dia mengucap kata-kata itu kepadaku'
'yah...sudahlah. semua sudah terucap...maafkan dia ya...aku akan melakukan apapun untuk membuatmu selalu dan tetap bahagia dan senang'
'aku tau'
'walaupun, aku yakin cintamu padanya lebih dari cintamu padaku, aku tidak peduli'
'kamu anak yang baik'
'aku hanya mencoba menjadi seorang anak di matamu'

Friday, March 30, 2007

surat cinta

Jakarta, 30 Maret 2007.
kasihku,
sesaat kulihat di balik tirai jendelaku hujan dan rintiknya telah terhenti. sesaat teringat betapa aku tidak pernah bisa melupakan dirimu dariku. sesaat teringat telah lama aku tidak mengirim sepucuk surat cinta panjang untukmu. sesaat teringat cintaku padamu, cemburuku padamu dan kebutaanku padamu.
sayangku,
rasanya tidak perlu lagi aku menulis surat cinta, karena cinta ternyata melelahkan. pasti akan sangat membosankan tulisan-tulisanku bila berisi cerita yang sama dari saat ke saat saja, tapi kenapa aku belum pernah bisa bosan terhadap cintaku padamu?jadi pastinya surat cintaku tidak akan pernah mampu membosankanmu bukan?
cintaku,
kamu tahu aku mampu menuliskan banyak dan berbaris-baris kalimat cintaku padamu. namun mengapa kali ini aku tidak mampu menuliskan itu semua? karena cinta ternyata melelahkan.
berhenti aku di sini karena tidak ada lagi kata-kata yang melebihi kasihku, sayangku dan cintaku. andai ada kata-kata melebihi itu semua maka aku akan memanggilmu dengan kata-kata itu. cinta ternyata melelahkan.
salam kasih, sayang dan cintaku untukmu,
perempuan

Wednesday, March 21, 2007

saya dan sebuah penyakit

saat ini saya sedang tidak enak badan, dan seperti biasa bila sudah mulai meriang-meriang, pilek-pilek ditambah batuk-batuk kecil maka dua gelas vitamin C dosis tinggi mampu saya minum dalam sehari.
sebenarnya tidak enak badan tidak perlu diobati dengan vitamin c itu, saya berkeyakinan bahwa sugesti pada dirisendiri untuk tidak sakit lebih manjur daripada obat apapun.
jadi sebenarnya sakit saya juga dipicu oleh kemalasan pada diri saya sendiri. malas untuk mengatakan saya sehat, malas untuk mengatakan saya baik-baik saja dan lebih senang bermalas-malas dengan kondisi saya. apakah itu semua mempengaruhi kinerja saya di kantor? tentu laaah....mana ada sebuah kemalasan yang garing banget tidak membuat kinerja kita terganggu, ambil contoh jelas adalah buktinya saya malah berkisah tentang sakit sepele saya di blog ini...benar-benar tidak bermutu dan garing banget kan?
satu lagi yang sebenarnya saya yakini menjadi penyebab kemalasan saya adalah ketidakmampuan saya menahan untuk tidak tidur lagi setelah sholat subuh (yg lebih sering tlat itu). padahal semakin saya tidur semakin mengantuklah saya dan semakin sakitlah badan saya.
intinya adalah....kemalasan sumber segala penyakit!!! dari penyakit ringan sampai penyakit serius, dari sakit badan sampai sakit hati. walaupun seperti telur dan ayam, maka antara sakit hati dengan kemalasan tidak dapat diputuskan mana yang lebih duluan.
dasar pemalassssss!!!!!!