Friday, April 04, 2008

Dia

Kisah ini adalah tentang 'dia', seorang perempuan yang pernah singgah di hatiku.

Pernah, bukan berarti tidak lagi karena saat ini aku duduk di pinggir jendela ini menikmati gelas kedua kopi Acehku yang pahit sambil merokok..menghisap dalam, dan aku masih menganggapnya singgah di hatiku.

kuletakkan kursi menghadap jendela dan kunaikkan kakiku ke bibir jendela. kuhisap dalam rokok filter ini, terbatuk...karena sudah lama aku tidak menghisapnya, namun saat ini sepulang dari penatnya kerja dan capeknya mengendarai mobil sendiri di tengah kemacetan Jakarta, sebatang untuk mengobati rasa kangenku padanya adalah obat yang cukup manjur.

iya, kami dulu biasa duduk di pinggir jendela ini, melihat malam dan rembulan, saling menumpangkan kaki kami satu sama lain, menikmati secangkir kopi pahit kami dan hanya..hanya sebatang rokok yang kami hisap berdua. nikmat dan menyegarkan. bukan hanya karena kopi dan rokoknya namun kebersamaan kami, pembicaraan kami dan sentuhan-sentuhan kami.

aku merindukan dia, perempuan yang pernah (dan masih) singgah di hatiku. saat ini aku mengobatinya dengan melakukan ritual kami itu dan mengingat apa yang menyebabkan kami tidak menikmati sebatang rokok dan secangkir kopi bersama lagi.

malam itu, ketika kami duduk di pinggir jendela ini, aku tidak ingat sudah berapa tegukan dan berapa hisapan kami lakukan, tiba-tiba kami dikejutkan oleh dering telpon. betisnya yang telanjang menggesek betisku yang berbulu dan sentuhan itu selintas mendesir di perutku. dia berdiri, mengambil rokok dari tanganku dan menghisapnya lalu mengembalikan padaku kemudian dia berjalan ke meja samping tempat tidur dan mengambil telepon genggamnya.aku tidak memperhatikan apa yang diucapkannya di telepon, mataku masih menatap bulan di luar jendela, menghisap sisa rokok kami yang telah basah oleh bibirnya tadi sembil membayangkan kelanjutan yang akan kami lakukan akibat gesekan sekilas betisnya ke betisku, malam yang indah kataku dalam hati.

setelah beberapa saat dia kembali ke bangku di sebelahku, diam dan menatap rembulan pula. dia tidak bercerita tentang telpon malam-malam itu dan aku juga masih larut dengan angan-angan konyolku sendirian sambil menghabiskan sisa rokok kami.

kupeluk dirinya dan kucium rambutnya, bau asap rokok tersisa di sana, dia.....diam. kupeluk erat untuk mewujudkan anganku tadi padanya, tetap diam.....kutatap matanya..........masih diam, kucium bibirnya.....juga diam. akhirnya kuangkat dia dan kududuknya dia di hadapanku.....tak bergerak dan........diam. lalu menangis, hanya itu yang kulihat, tangis di wajahnya yang makin keras dan keras. semua khayalan-khayalan nakalku ketika menikmati sisa rokok dan kopi terakhir tadi lenyap tak berbekas di otakku. kupeluk dia dan kubiarkan dia menangis sejadi-jadinya.

itu terakhir aku menikmati kopi dan rokok berdua serta merasakan hangat tubuhnya dan curahan air matanya. karena paginya, dia mengepak semua bajunya dan pergi ...pergi dan belum pernah kembali kepadaku lagi. semua hanya karena telepon di tengah malam itu yang mengabarkan bahwa bapaknya rela mengorbankan dirinya untuk dipenjara seumur hidup karena membunuhku bila dia tetap menyerahkan dirinya dalam pelukanku tanpa ikatan apapun. aku mencegahnya untuk pergi? tidak, apakah aku pengecut? tidak, apakah aku tidak berjuang untuk cinta kami? tidak. karena itu bukan kali pertama kami mendapat telepon tengah malam dan itu juga bukan kali pertama kami mendengar itu semua. hanya kali ini tangisnya lebih keras dan lebih menjadi dibanding sebelum-sebelumnya? apakah kami tidak saling mencinta? karena cinta seharusnya saling memiliki? aku tidak tau....mungkin, mungkin kami memang tidak saling mencinta, kami mencintai hidup, kami mencintai rasionalitas, kami mencintai cinta yang lebih besar dari cinta kami, cinta bapaknya, cinta bapakku.

kami selalu bilang, bila memang kami saling mencinta dan memiliki cinta yang besar maka kami akan tetap bersama apapun rintangannya, ternyata kami tidak memiliki cinta sebesar itu, aku tidak rela mati sekarang di tangan bapaknya, dan dia tidak rela melihatku mati dan menderita karena tidak memilikiku lagi.

kuhisap rokokku malam ini dan kupandang cangkir kopiku yang menyisakan endapan di dasarnya dan memberikan gambaran wajahnya yang tak kan pernah datang lagi, karena sekeras apapun dulu kami berjuang untuk cinta kami, kami tidak akan pernah bersatu karena kami tidak saling mencintai, karena ada cinta yang lebih dari cintaku yang telah mengambilnya secepat terjangan mobilnya ke mobil di depannya yang telah meluluhlantakkan tubuhnya dan mencarut marut muka cantiknya dan mengambil nyawanya. bahkan bapaknya pun tidak dapat memilikinya lagi. bila dia tetap disini saat itu dengan betis mulusnya dan basah bibirnya di rokok kami, dia tetap tidak akan berada di sini saat ini menemaniku duduk di pinggir jendela ini....menikmati sebatang rokok dan secangkir kopi.